Ketika dulu saya duduk di bangku sekolah saya dibuat
bingung dengan penggunaan kata “home” dan “house” yang mana bila diterjemahkan
keduanya memiliki arti rumah, namun dalam penggunaannya memiliki makna yang
berbeda. Kata house hanya menunujukkan sebuah bangunan fisik rumah secara nyata
bisa dilihat dengan mata. Home mengacu kepada sebuah tempat dimana seseorang
bisa merasakan kenyamanan dan terikat secara emosional. Tidak harus berwujud
fisik rumah, namun manakala suatu tempat bisa menciptakan rasa nyaman, tentram,
tenang, dan bahagia, disitulah kata Home digunakan. Dalam benak saya, apakah
bisa suatu rumah tidak mampu memiliki keterikatan emosional dengan orang-orang
didalamnya? Apa mungkin perasaan nyaman, tentram, tenang, dan bahagia itu tidak
didapat di rumah, namun justru didapat di tempat lain? Hal itu pada akhirnya
terjawab seiring dengan perjalanan saya menjadi guru BK.
Tahun ketujuh saya menjalani profesi sebagai guru BK,
satu hal yang menjadi refleksi bagi diri saya sebagai orang tua. Betapa
keharmonisan suami istri sebagai sosok orang tua memiliki peranan penting dalam
tumbuh kembang anak. Ragam permasalahan yang muncul di sekolah adalah suatu hal
yang biasa sebagai bagian proses pembelajaran kehidupan peserta didik yang
sedang beradaptasi dalam tahapan perkembangannya. Mulai dari permasalahan
motivasi belajar, prestasi belajar, lalai mengerjakan tugas, konflik dengan
teman, tidak percaya diri, insecure, overthinking, kemampuan mengontrol emosi,
manajemen waktu, kebingungan dalam memilih karir, dan lainnya menjadi warna
setiap tahunnya pada peserta didik. Pada akhirnya semua permasalahan pada
peserta didik bisa tertangani manakala guru atau pihak sekolah dan orang tua
peserta didik bisa bekerjasama dalam mengarahkan anak untuk mengentaskan
permasalahannya.
Guru memberikan arahan dan penguatan selama peserta
didik berada di sekolah, sesekali melakukan komunikasi jarak jauh ketika
peserta didik berada di rumah. Orang tua di rumah menjadi sosok sentral dengan
waktu yang lebih lama dan intens, sosok terdekat dengan peserta didik yang
mampu memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi untuk menguatkan anak,
membantu anak menemukan jalan keluar ketika ia dihadapkan pada permasalahan
dalam hidupnya. Hari berat yang anak lalui di luar rumah, perlahan terasa ringan dengan hadirnya
senyuman yang menyambutnya ketika ia pulang di rumah. Dan hilang begitu saja
ketika usapan pundak dan pelukan hangat ia dapatkan dari sosok orang tuanya di
rumah. Segala beban pikiran, kekhawatiran, persoalan problematika dalam
kehidupannya pun menguap bersama cerita-cerita yang ia ungkapkan di percakapan
malam hari bersama orang tuanya, yang mendengar tanpa menghaikimi, yang
meluruskan apa yang keliru, yang membentuk karakter positif, dan yang menguatkan
bahwa semua akan baik-baik saja.
Beberapa permasalahan pada peserta didik, rasanya
mengalami kebuntuan manakala yang menjadi penyebab permasalahan justru ketika
“house” tidak ia temukan di dalam rumahnya. Permasalahan pada anak tidak dapat
tertangani dengan baik, ketika ketiadaan kerjasama dan kehadiran orang tua atau
bahkan konflik orang tua yang justru menjadi penyebab permasalahan yang muncul
pada anak, yang membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri,
emosional, insecure, overthinking, perasaan tidak berharga, menjadi
pemberontak, menyakiti diri sendiri dan hal-hal lainnya, ketika anak sering
disuguhkan dengan pertengkaran hebat orang tua atau perang dingin antar orang
tuanya. Mungkin bagi orang tua itu hanyalah konflik biasa antar orang dewasa
yang tidak terkontrol atau menjadi sesuatu yang biasa, namun dari hal itu anak
bisa banyak belajar dalam memandang kehidupan, dan bagi anak bisa jadi itu
adalah kejadian luar biasa yang mengguncang dirinya.
Hari-hari kelabu dengan pikiran berisi
ingatan-ingatan konflik orang tua menjadi rekaman yang ia ulang terus menerus
setiap harinya, yang hadir di pikiran ketika ia sedang melewati hari-harinya di
sekolah bersama teman-temannya, pulang ke rumah menjadi sesuatu yang begitu
berat, menerka-nerka, akankah ada keributan atau perang dingin yang harus
disaksikan kembali hari ini. Tiada senyuman dan sapaan hangat yang menyambut
ketika pulang, tiada dekapan hangat, apalagi komunikasi antar anggota keluarga
yang penuh cinta. Malam hari ia lewati dengan pikiran kalut yang berkecamuk,
menerka-nerka bagaimana hidup kan membawanya kelak. Apakah bisa hari-harinya
sama seperti yang lain. Jangankan untuk memantau perkembangan dan kebahagiaan
anak, orang tuanya sendiri pun tengah berjuang untuk menyelesaikan permasalahannya.
Konflik dalam rumah tangga tentu menjadi hal yang
lumrah dalam interaksi suami dan istri. Namun sebagai orang tua kita dapat
memilih bagaimana kita hendak menyelesaikan konflik. Tetap bersama dalam satu
atap yang sama atau keputusan untuk tidak tinggal bersama menjadi keputusan
yang pastinya semua sudah dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Namun
bagaimana memastikan Ibu dan Ayah bisa tetap bekerjasama sebagai orang dewasa
yang solid dalam membersamai tumbuh kembang anak, memastikan bahwa tidak ada
kasih sayang yang hilang dari orang tuanya, komunikasi yang terjalin intens
satu sama lain, sikap saling menghargai, kehangatan yang dipastikan selalu
hadir dalam harinya, dekapan dan pelukan hangat yang selalu siap sedia. Agar,
ketika tantangan hidup di luar sana menghampiri, ia akan tetap kuat berpijak,
ia tahu hendak kemana ia mencari pegangan, mencari tempat untuk bersandar,
bukan kepada sosok lain yang seolah menjanjikan hal yang manis namun nyatanya
ia membahayakan dirinya pada akhirnya.
Rumah sudah seharusnya bukan sekedar bangunan fisik
semata, bukan sekedar pondasi bangunannya saja yang kuat, bukan sekedar indah
dipandang mata karena designnya yang menawan. Namun bagaimana rumah memiliki
pondasi cinta yang kuat, indah dipandang mata karena rasa cinta antar
penghuninya, hangat karena komunikasi dan perhatian yang terjalin satu sama
lain. Rumah yang mampu memiliki
keterikatan emosional antar pemiliknya. Menjadi tempat yang dinanti untuk
kembali pulang setelah seharian beraktivitas di luar. Menjadi tempat untuk
melebur kegundahan, yang sehebat apapun
badai dan hantaman yang menerjang di luar, ia menjadi tempat untuk berlindung
dan mengembalikan semangat yang hilang, agar optimisme untuk esok hari yang lebih baik, senantiasa
hadir menjadi cahaya harapan setiap harinya bagi anak.