Hubungi kami 0811-2000-352
info@salman-alfarisi.com
Jln. Tubagus Ismail VIII no.42A, Bandung

House is Not a Home

Ketika dulu saya duduk di bangku sekolah saya dibuat bingung dengan penggunaan kata “home” dan “house” yang mana bila diterjemahkan keduanya memiliki arti rumah, namun dalam penggunaannya memiliki makna yang berbeda. Kata house hanya menunujukkan sebuah bangunan fisik rumah secara nyata bisa dilihat dengan mata. Home mengacu kepada sebuah tempat dimana seseorang bisa merasakan kenyamanan dan terikat secara emosional. Tidak harus berwujud fisik rumah, namun manakala suatu tempat bisa menciptakan rasa nyaman, tentram, tenang, dan bahagia, disitulah kata Home digunakan. Dalam benak saya, apakah bisa suatu rumah tidak mampu memiliki keterikatan emosional dengan orang-orang didalamnya? Apa mungkin perasaan nyaman, tentram, tenang, dan bahagia itu tidak didapat di rumah, namun justru didapat di tempat lain? Hal itu pada akhirnya terjawab seiring dengan perjalanan saya menjadi guru BK.

Tahun ketujuh saya menjalani profesi sebagai guru BK, satu hal yang menjadi refleksi bagi diri saya sebagai orang tua. Betapa keharmonisan suami istri sebagai sosok orang tua memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang anak. Ragam permasalahan yang muncul di sekolah adalah suatu hal yang biasa sebagai bagian proses pembelajaran kehidupan peserta didik yang sedang beradaptasi dalam tahapan perkembangannya. Mulai dari permasalahan motivasi belajar, prestasi belajar, lalai mengerjakan tugas, konflik dengan teman, tidak percaya diri, insecure, overthinking, kemampuan mengontrol emosi, manajemen waktu, kebingungan dalam memilih karir, dan lainnya menjadi warna setiap tahunnya pada peserta didik. Pada akhirnya semua permasalahan pada peserta didik bisa tertangani manakala guru atau pihak sekolah dan orang tua peserta didik bisa bekerjasama dalam mengarahkan anak untuk mengentaskan permasalahannya.

Guru memberikan arahan dan penguatan selama peserta didik berada di sekolah, sesekali melakukan komunikasi jarak jauh ketika peserta didik berada di rumah. Orang tua di rumah menjadi sosok sentral dengan waktu yang lebih lama dan intens, sosok terdekat dengan peserta didik yang mampu memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi untuk menguatkan anak, membantu anak menemukan jalan keluar ketika ia dihadapkan pada permasalahan dalam hidupnya. Hari berat yang anak lalui di luar rumah,  perlahan terasa ringan dengan hadirnya senyuman yang menyambutnya ketika ia pulang di rumah. Dan hilang begitu saja ketika usapan pundak dan pelukan hangat ia dapatkan dari sosok orang tuanya di rumah. Segala beban pikiran, kekhawatiran, persoalan problematika dalam kehidupannya pun menguap bersama cerita-cerita yang ia ungkapkan di percakapan malam hari bersama orang tuanya, yang mendengar tanpa menghaikimi, yang meluruskan apa yang keliru, yang membentuk karakter positif, dan yang menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Beberapa permasalahan pada peserta didik, rasanya mengalami kebuntuan manakala yang menjadi penyebab permasalahan justru ketika “house” tidak ia temukan di dalam rumahnya. Permasalahan pada anak tidak dapat tertangani dengan baik, ketika ketiadaan kerjasama dan kehadiran orang tua atau bahkan konflik orang tua yang justru menjadi penyebab permasalahan yang muncul pada anak, yang membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, emosional, insecure, overthinking, perasaan tidak berharga, menjadi pemberontak, menyakiti diri sendiri dan hal-hal lainnya, ketika anak sering disuguhkan dengan pertengkaran hebat orang tua atau perang dingin antar orang tuanya. Mungkin bagi orang tua itu hanyalah konflik biasa antar orang dewasa yang tidak terkontrol atau menjadi sesuatu yang biasa, namun dari hal itu anak bisa banyak belajar dalam memandang kehidupan, dan bagi anak bisa jadi itu adalah kejadian luar biasa yang mengguncang dirinya.

Hari-hari kelabu dengan pikiran berisi ingatan-ingatan konflik orang tua menjadi rekaman yang ia ulang terus menerus setiap harinya, yang hadir di pikiran ketika ia sedang melewati hari-harinya di sekolah bersama teman-temannya, pulang ke rumah menjadi sesuatu yang begitu berat, menerka-nerka, akankah ada keributan atau perang dingin yang harus disaksikan kembali hari ini. Tiada senyuman dan sapaan hangat yang menyambut ketika pulang, tiada dekapan hangat, apalagi komunikasi antar anggota keluarga yang penuh cinta. Malam hari ia lewati dengan pikiran kalut yang berkecamuk, menerka-nerka bagaimana hidup kan membawanya kelak. Apakah bisa hari-harinya sama seperti yang lain. Jangankan untuk memantau perkembangan dan kebahagiaan anak, orang tuanya sendiri pun tengah berjuang untuk menyelesaikan permasalahannya.

Konflik dalam rumah tangga tentu menjadi hal yang lumrah dalam interaksi suami dan istri. Namun sebagai orang tua kita dapat memilih bagaimana kita hendak menyelesaikan konflik. Tetap bersama dalam satu atap yang sama atau keputusan untuk tidak tinggal bersama menjadi keputusan yang pastinya semua sudah dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Namun bagaimana memastikan Ibu dan Ayah bisa tetap bekerjasama sebagai orang dewasa yang solid dalam membersamai tumbuh kembang anak, memastikan bahwa tidak ada kasih sayang yang hilang dari orang tuanya, komunikasi yang terjalin intens satu sama lain, sikap saling menghargai, kehangatan yang dipastikan selalu hadir dalam harinya, dekapan dan pelukan hangat yang selalu siap sedia. Agar, ketika tantangan hidup di luar sana menghampiri, ia akan tetap kuat berpijak, ia tahu hendak kemana ia mencari pegangan, mencari tempat untuk bersandar, bukan kepada sosok lain yang seolah menjanjikan hal yang manis namun nyatanya ia membahayakan dirinya pada akhirnya.

Rumah sudah seharusnya bukan sekedar bangunan fisik semata, bukan sekedar pondasi bangunannya saja yang kuat, bukan sekedar indah dipandang mata karena designnya yang menawan. Namun bagaimana rumah memiliki pondasi cinta yang kuat, indah dipandang mata karena rasa cinta antar penghuninya, hangat karena komunikasi dan perhatian yang terjalin satu sama lain. Rumah  yang mampu memiliki keterikatan emosional antar pemiliknya. Menjadi tempat yang dinanti untuk kembali pulang setelah seharian beraktivitas di luar. Menjadi tempat untuk melebur kegundahan,  yang sehebat apapun badai dan hantaman yang menerjang di luar, ia menjadi tempat untuk berlindung dan mengembalikan semangat yang hilang, agar optimisme  untuk esok hari yang lebih baik, senantiasa hadir menjadi cahaya harapan setiap harinya bagi anak.

Oleh : Riani Fajrin, S.Pd.